Demonstrasi..??
Apakah demokrasi sama dengan demonstrasi? Paling tidak,apakah demonstrasi itu merupakan salah satu wajah demokrasi? Mungkin demikian agaknya, setidak- tidaknya apabila kita mengamati kejadian sehari-hari di seluruh Tanah Air.
Para demonstran selalu mengaku tindakan mereka atas nama rakyat, berarti demonstrasi berada pada jalur demokrasi sejati, katanya.
Demonstrasi yang marak setiap hari – tiada hari tanpa demonstrasi – terjadi dengan 1001 alasan, yang masuk akal maupun yang tidak masuk akal, namun semua “atas nama rakyat.” Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) secara langsung – baik pada tingkat I (gubernur) maupun tingkat II (bupati, walikota) – kerap terjadi di daerah. Tidak ada pilkada tidak pakai demo(nstrasi).
Di Tuban pendopo kabupaten dibakar dan rumah bupati dirusak. Di Banyuwangi bupati masih dalam jabatannya dipaksa turun. (Anehnya, para bupati di Jawa Timur “yang bermasalah” ini keduanya adalah wanita.) Pilkada Depok berlarut-larut sampai ke Mahkamah Agung, sebelum walikota terpilih (bukan wanita) bisa dilantik. Yang kalah dalam pemilihan tentu saja berdemo mengusung protes “karena pilkada tidak jujur”, ke-esokan harinya giliran yang menang berdemo mempertahankan keunggulannya.
Semua kelompok – besar atau kecil, riil atau fiktif – merasa berhak berdemo. Buruh berdemo, guru berdemo minta penghargaan, muridnya berdemo menentang guru, mahasiswa (apalagi) berdemo terus, pegawai negeri berdemo (menentang bupatinya). Besok Anda terpaku di halte, karena bus atau angkot tidak jalan gara-gara para sopir berdemo. Alasannya macam-macam: BBM naik lah, tarikan sepi lah, pendapatan turun lah, atau ada “armada” lain nimbrung di trayeknya. (Armada itu artinya angkot!). Ketika Taxi Blue Bird mau beroperasi di Bandung, para sopir Bandung berdemo, katanya Bandung hanya untuk sopir Bandung, ini wilayah kuring, jadi e’nte’ silakan mundur!
Jika Anda sudah bingung dan tidak mengerti apa yang sedang terjadi, periksalah analisis Jack Snyder (dalam bukunya From Voting to Violence, 2000) Tentang proses demokratisasi di negara-negara yang sedang menuju demokrasi (democratizing states). Negara-negara ini (termasuk Indonesia) sedang dalam proses transisi menuju demokrasi, jadi belum bisa disebut negara demokrasi matang (mature democracies). Ada petunjuk kuat bahwa masa awal demokratisasi dan saudara sepupunya – liberalisasi pers – meningkatkan risiko konflik nasionalis dan sara (suku, agama, ras, antar golongan). Sentimen nasionalisme adalah cara yang dipergunakan elite politik untuk menghimpun kekuatan guna mendukung atau mencegah proses demokratisasi, tergantung dari apakah proses demokratisasi itu menguntungkan atau merugikan kelompok politiknya. Nasionalisme sara (ethnic nationalism)," ujar Snyder, mendasarkan legitimasinya pada budaya, bahasa, suku, ras, agama, pengalaman sejarah, dan/atau mitos nenek moyang yang sama dan menggunakan berbagai kriteria itu untuk memasukan atau mengeluarkan orang ke dalam kelompok nasional.
Fach-idioten Dua wawasan yang bertentangan, yaitu persaingan antar kelompok rakyat (popular rivalries) dan propaganda elite (elite persuation) menjelaskan korelasi antara demokratisasi dan konflik nasionalis. Sebelum proses demokratisasi mulai, nasionalisme biasanya lemah atau belum ada di kalangan luas massa penduduk. Nasionalisme massa biasanya muncul selama tahap paling awal demokratisasi, ketika para elite menggunakan pesona nasionalisme untuk memperoleh dukungan rakyat. Dalam proses itu golongan-golongan kuat dalam masyarakat tidak hanya perlu menggalang dukungan rakyat untuk perang atau peningkatan ekonomi, tetapi juga enggan menyerahkan wewenang politik kepada warga biasa. Nasionalisme elite ini merupakan doktrin yang berguna untuk membenarkan demokrasi setengah- setengah, ketika para elite dapat berkuasa atas nama rakyat tetapi tidak sepenuhnya bertanggungjawab kepada rakyat.
Telusurilah kembali sejarah Leninisme yang mengolah “kepercayaan massa.” Meskipun komunisme sudah dilarang keras di Indonesia, praktek yang dilakukan Lenin masih hidup, demikan ujar Benny Phang (Kompas, 18 Nov. 2003).
“Kepercayaan Massa” itu diramu secara terselubung dengan jargon politis atau religious yang penuh retorika yang indah. Disatu sisi ada yang menipu, di sisi lain ada yang mau atau mudah ditipu. Orang-orang ini adalah mereka yang sangat cepat merasa puas dengan dirinya, kurang keberanian dan tidak kritis, serta sudah dipengaruhi agar tidak mungkin memahami atau mentoleransi orang lain yang berbeda pendapat. Sikap ini akan membuat orang tidak cerdas atau seperti diistilahkan oleh Richard Cohen (Washington Post, Juli 2003) menjadi “idiot.” Para idioten adalah orang-orang bodoh, tetapi tidak terbatas pada orang bodoh. Keyakinannya lah yang akan membuat orang menjadi apa yang disebut “fach idioten” yaitu para ahli (jadi tidak bodoh) yang melulu tahu satu hal saja, dan akhirnya bisa menjadi fanatik pada kepercayaan yang dianutnya. Insan yang fanatik dan idiot dengan mudah akan menjadi insan yang useful, yaitu yang gampang dimanfaatkan untuk suatu kepentingan politik atau ekonomi tertentu. (Ingatlah kembali para ilmuwan dan sarjana yang dimanipulasi oleh Hitler dengan mempergunakan jargon “Deutschland uber Alles”). Orang demikian hanya butuh khotbah atau jargon tertentu yang dipoles dengan kutipan kitab suci atau semboyan nasionalisme yang sempit untuk menjadikan mereka pembela orang-orang yang cerdas tapi culas. Tanpa paham dengan sesungguh-sungguhnya dan tanpa mengkritisi jargon politis yang disuntikkan si cerdas culas, para useful idiots siap membela sampai mati agenda politis atau ekonomis yang dikemas rapi dan mengiurkan.
Benturan Antar- peradaban Jika kita tidak termasuk dalam golongan useful idiots itu…alhamdulillah. Namun masih ada satu aspek lain yang juga masih harus kita cermati, yaitu gelanggang pergolakan global yang setelah runtuhnya komunisme di Uni Sovyet memasuki babak baru yang ditengarai oleh Samuel P. Huntington sebagai “the clash of civilizations,” benturan antar peradaban. Peradaban, menurut Huntington, adalah cara hidup suatu kelompok manusia, termasuk nilai-nilai dan norma-normanya, lembaga-lembaganya, dan moda pemikirannya yang telah dianut masyarakat itu secara turun temurun dan diberi kedudukan utama bahkan mungkin sakral. (Bandingkan dengan analisis ‘ethnic nationalism’ Jack Snyder di atas.)
Menurut Huntington benturan (clash) dalam kurun waktu sekarang ini tidak lagi antara negara (Amerika Serikat vs. Soviet Rusia), atau antara ideologi (kapitalisme vs. komunisme), tetapi pertentangan itu terjadi antara peradaban. Tidak ada batas-batas geografis bagi peradaban. Huntington memilah-milahnya menjadi: Barat, Orthodox (Rusia), Islam, Sinic (Cina), Jepang, Hindu (India), Afrika dan Latin Amerika. Isu utamanya adalah demokratisasi, terorisme, hak asasi manusia, dan globalisasi.
Jalur-jalur bentrokannya: minyak bumi, perdagangan bebas (WTO), liberalisasi media, IMF dan Bank Dunia serta proliferasi nuklir. Apakah Indonesia merupakan peradaban tersendiri? Ataukah masuk dalam salah satu kategori Huntington tersebut? Katagori yang mana? Seyogianya kita sadari sepenuhnya di mana kedudukan kita pada pentas global seperti itu dan di situlah negara dan bangsa Indonesia harus memainkan perannya. Apa yang terjadi pada tingkat internasional dan apa yang terefleksikan pada tingkat regional dan nasional seyogianya dipahami dalam konteks dialektika percaturan lokal dan global yang bergejolak setiap hari.
Demikianlah kita harus menyimak kunjungan bertubi-tubi dari para pemain politik global, dari Condolezza Rice sampai Presiden Iran, dari Barat dan Timur dan Selatan, kunjungan Presiden SBY ke Timur Tengah atau kunjungan Wapres ke Jepang dan gerakan-gerakan lain di papan catur dunia ini. Sesuatu yang serius tengah berkembang di dunia dan di negara kita!
Semoga kita semua tidak menjadi useful idiots, baik pada tataran nasional atau regional maupun pada tataran global.